Luck, seperti itu teman-teman sering memanggilku. Walaupun nama asliku adalah Genio Caprica. Hmm.. memang ga nyambung kata Luck dengan Genio Caprica. Tetapi, aku lebih suka dipanggil Luck daripada Gen, Nio, Cap, apalagi Rica, uhh. Padahal aku berasal dari keluarga Hanstle, tetapi hanya namaku seorang yang tak ada Hanstlenya. Mum pernah bilang nama Caprica itu ia dapat karena saat mengandungku, ia berkali-kali bermimpi bertemu dengan Leonardo Dcaprio. Caprio dan Caprica? Uhmm.. Mum apa kau bohong? Yeah, perdebatan untuk nama berakhir saat aku test berbicara dengan seorang bule di lapangan. Bule itu mengadiahkan cameranya sebagai permintaan maaf sekaligus mengagumi sikapku yang tak cepat marah saat dia salah mengucapkan namaku dari Genio Caprica menjadi Genio Paprica. Lucu.. tetapi tidak bagiku. Aku paprica? Oh tidak. Setidaknya namaku bisa membuat orang mengingatku karena keunikannya. Thanks Mum, karena nama pemberianmu aku bisa menghibur orang yang aku cinta.
“Truth, dare, or promise my luck?” tanya Ellen menyindirku.
“Your luck is lose for now!” tambah Jane yang tak bisa lagi menahan ketawanya saat giliran ku dalam permainan ini. Memang Jane adalah orang yang sangat berharap aku mendapatkan kesialan di permainan ini, karena waktu dulu aku pernah menantangnya untuk mencium seorang siswi di sekolahku saat. Itu membuatnya jomblo 12 bulan, karena semua cowok menganggapnya <em>lesbi</em>. Walaupun sekarang ia sudah punya pacar, yang pastinya cowok. Tetapi, 1 tahun lebih muda darinya. Tepat! Adik kelas, anak SMA baru tahun ajaran ini yang tak tahu-menahu tentang riwayat Jane karena tantanganku itu.</P>
“Ok. Dare!” pilihku.
“Yeah, your lucky is for me now!”
<P Align="Justify">“Gila lu, bunuh diri ini namanya. Jelas-jelas Jane mau balas dendam, eh lu malah ngikutin kemauan dia. Jane ngarepin lu buad milih dare tau!” kata Kick yang tak mau aku, sahabatnya dipermalukan oleh 2 teman perempuannya.</P>
<P Align="Justify">“My name is my lucky. Luck is Lucky, for now and forever,” kataku berusaha untuk menghibur diri, karena aku tahu sekaranglah waktunya Jane untuk mempermalukanku. Memang, jika di ratiokan antara keberuntungan dan kesialan dalam hidupku sampai saat ini adalah 4:1. Maka dari itu, teman-temanku memanggilku dengan sebutan Lucky man, seorang yang penuh dengan keberuntungan. Tetap saja hatiku galau, karena sampai saat ini angka 1 itu belum juga aku dapatkan dan angka 4 itu baru aku dapatkan 3. Yeah, akhirnya 1:1. Antara malu dan lega. Yeah, aku harap, fiuhh!</P>
<P Align="Justify">“Aku menantangmu untuk menggandeng cewek itu ke acara <em>promnite</em> tahun ini sebagai pacarmu. Ready?,” kata Jane dengan senyum sinisnya seraya menunjuk ke salah satu sudut taman di sekolahku.</P>
<P Align="Justify">Kabar baik, orang yang ditunjuk Jane adalah cewek. Yeah! Tapi tidak, oh no! Itu Priss, Prisscha Cransh. Cewek terkuper yang pernah aku kenal, dari pagi hari hingga sore hari di sekolah hanya bersama buku. Sering menggunakan kerudung untuk menutupi setengah kepalanya. Entah apa maksudnya. Yah, akhir-akhir ini lumayan ada kemajuan dari gadis itu. Sepanjang hari di sekolah, Priss hanya berkutat dengan teman setianya, buku tebal berdebu dengan istilah-istilah kedokteran yang menghiasinya. Hanya dia, yah hanya Priss, Prisscha Cransh yang mengambil buku itu dari rak buku paling atas di perpustakaan untuk dipelajarinya, yang kami tahu buku itu tak pernah ada yang mengambil sejak 1 tahun yang lalu. Tetapi, sekarang Priss sudah tak sesering dulu berada di perpustakaan, ia lebih banyak menghabiskan jam istirahat dengan berada di salah satu sudut taman sekolah. Tetap, dengan teman setianya buku tebal berdebu itu. Mungkin, karena alergi debu yang ditimbulkan dari buku-buku di rak perpustakaan itu, ia sekarang lebih memilih membaca di taman sekolah.</P>
“Hallo, Luck!” kata Kick mengagetkanku.
<P Align="Justify">“Ah, that easy guys. Aku mulai sekarang!” kataku yang mulai sadar dari lamunanku tentang biografi gadis itu.</P>
“Ehmm, boleh aku duduk di sini,” sapaku.
<P Align="Justify">Priss hanya menoleh dan setelah itu kembali memandangi buku itu. Memandangi? Tidak, tapatnya membaca. Memandangi buku seperti itu hanya untukku. Mungkin Priss berpikir: “Emang ini tempat duduk punya gue? Kalo mau duduk, duduk aja! Toh itu pan***-pan*** lu”. Mungkin?? Arghh, triple arghh. Aku tak pernah dicuekin cewek seperti ini, jujur selama bersekolah di sini. Aku di cap sebagai cowok ter”cool” (red: sikap dingin). Setidaknya, karena tantangan ini aku mau mendekati cewek duluan. Prisskankuper, ia mungkin tidak tahu dengan predikat yang kusandang itu. Padahal kalau dia tahu, dia pasti akan bangga, menjadi cewek pertama yang menjadi incaran cowok ter”cool” di sekolah ini^^. Dengan jengkel dan triple arghh aku duduk di kursi taman tepat sebelah posisinya saat ini.</P>
“Kamu Priss kan?” kataku memulai percakapan.
“Iya,” jawabnya singkat tanpa bertanya kembali siapa namaku.
“Boleh minta email mu?” tanyaku yang berharap dia akan menjawab iya.
“Untuk apa?”
“Aku pengen kenal lebih dekat sama kamu,” jawabku, langsung menuju sasaran.
<P Align="Justify">Sejenak ia tak menjawab kata-kataku itu. Dag dig dug, terdengar jantungku berdetak lebih keras. Jangan sampai, predikatku bertambah di sekolah ini, predikat sebagai <em>The Bad Boy</em> dan menjadi bulan-bulanan bahan ejekan dari Jane karena tahap perkenalan awalku gagal total.</P>
<P Align="Justify">Benar, kini aku menyandang nama ketiga “<em>The Bad Boy</em>”. Sial! Priss pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Wajahnya menunjukkan raut kekesalan, karena aku menggangu waktu membacanya dan raut wajah lain. Bingung, iya bingung. Aku melihat ia seperti dilema. Tetapi, kenapa dia harus dilema gara-gara iya atau tidak untuk memberikan alamat emailnya untukku? Entahlah, mungkin aku yang salah mengartikan raut wajah Priss.</P>
<P Align="Justify">“My lucky come on,” kataku yang berharap malaikat keberuntunganku datang untuk membantu.</P>
<P Align="Justify">“Hhahahahahahaha,” tawa Jane dan Ellen di kejauhan sana. Kick hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaanku saat ini.</P>
<P Align="Justify">“Kenapa kalian? Priss hanya mengambil kertas untuk menuliskan emailnya untukku,” kataku menghampiri mereka.</P>
“My Luck, semangat ya,” kata Ellen di tengah-tengah ketawanya.
“Ckckck, <em>The Bad Boy</em>,” tambah Jane.
“Damn,” kataku seraya pergi menyusul jejak Priss.
<P Align="Justify">Aku mencari-cari Priss. Tetap saja aku tak menemukannya. Hingga akhirnya, pandanganku sampai di pojok perpustakaan. Ada Priss di sana. Seharusnya aku menghampirinya. Tetapi, malaikat keberuntunganku sedang berpihak denganku, aku dilarangnya kesana, kakiku sulit untuk digerakkan. Dia sedang menangis. Aku hanya mengintai setiap gerakan air mata yang jatuh dari mata indah seorang Priss, cewek terkuper di sekolahku dari salah satu celah rak buku yang saat itu sedang jarang bukunya.</P>
<P Align="Justify">Aku kembali mengingat-ngingat perkataanku tadi saat mencoba berkenalan dengan Priss. Aku eja semua kata dalam kalimatku tadi. Tak ada yang salah. Tetapi, kenapa Priss harus bersedih? Teet, bel sekolah berbunyi yang menandakan pelajaran terakhir akan segera dimulai. Semua siswa mulai masuk ke kelas masing-masing, termasuk aku dan Priss. Kami keluar dari perpustakaan, tentu saja aku berpura-pura tak memperhatikan dia. Hari Sabtu jam pelajaran terakhir saatnya aku dan Priss satu kelas karena jam itu adalah jam pelajaran di kelas kesenian. Aku bermain gitar dan yang ku tahu Priss mengambil pelajaran alat musik biola.</P>
<P Align="Justify">Karena tantangan dari Jane, beberapa bulan terakhir ini aku sering memperhatikan tingkah laku Priss. Aku mulai merubah pandanganku tentangnya saat aku tahu fakta tentang Priss dari mamanya yang kebetulan sedang berkonsultasi tentang keadaan Priss dengan ayahku, yang ternyata adalah dokternya Priss selama ini. Di mataku sekarang ia tak lagi gadis kuper, tetapi ia adalah gadis yang berhati mulia, karena ia tak mau orang lain tahu lebih tentangnya, sebab ia seorang penderita kanker hati dan divonis oleh dokter ia hanya dapat bertahan hingga akhir tahun ini. Ia tak mau membuat orang yang dekat dengannya merasa sedih saat ia benar-benar terbunuh oleh penyakit itu. Seminggu belakangan ini aku membuntutinya hingga sampai ke rumahnya. Ia tinggal di salah satu rumah yang berhadapan langsung dengan teluk Peacelife. Teluk yang lebih dikenal orang sebagai teluk kedamaian. Teluk ini akan memberi kita kedamaian hidup saat kita berada dalam suasana danau itu. Gulungan ombak, pasir putihnya, warna lautnya yang menawan, dan semuanya yang berkaitan dengan danau itu sempurna bagiku. Benar, aku sudah membuktikan kata orang. Di akhir pekan aku selalu pergi ke sana untuk menghilangkan penat. Penat, karena selama berhari-hari di sekolah aku harus bertemu dengan orang yang kucinta sekaligus orang yang membuatku galau, karena aku tahu dia tak akan menerima cintaku ini. Bahkan, aku tahu hanya secuil harapan untukku dapat berkenalan dengannya lagi dan saat aku bertemu dengan mamanya, ia hanya berpesan kepadaku “Tolong buat putriku tersenyum”. Yah, gadis yang kucinta itu adalah Priss. Cewek terkuper di sekolahku dan sekaligus cinta pertamaku di sekolah ini. Aku kagum dengannya, aku ingin mengabulkan permintaan mamanya. Dare, ini tantangan untukku. Untuk cowok yang menyandang 3 predikat di sekolah. Yeah, place in my heart just for you, Priss. Kata-kata yang sering kuteriakkan di danau kedamaian dan berharap Priss akan mendengarnya.</P>
<P Align="Justify">Aku sering duduk di bangku kayu depan rumah Priss yang merupakan fasilitas umum dari teluk itu hanya untuk mendengarkan lantunan biola yang dimainkan oleh Priss. Amazing! Permainan biolanya cukup membuatku terhanyut oleh suasana. Aku berharap nantinya bisa bermain bersamanya di satu panggung yang sama. Diam-diam aku memainkan gitarku mengiringi lantunan biolanya. Dan suatu ketika aku mendengar suara biolanya berhenti bergesekan dan seseorang melongo dari kaca jendelanya. Surga di depan mataku, dia tersenyum. Manis dan cantik, itu yang bisa kugambarkan dari surga itu.</P>
“Hai, Priss,” aku melambai-lambaikan tanganku.
<P Align="Justify">Tanggapannya sangat dingin sedingin udara petang di teluk itu. Ia menutup jendelanya begitu saja. Aku memanggil berulang kali, tetap tak ada gadis yang melongo dari jendela. Aku berteriak sekali lagi.</P>
“Priss, please!”
<P Align="Justify">Seperti dugaanku, tak ada tanggapan darinya. Tetapi, tiba-tiba pintu gerbangnya terbuka.</P>
“Priss.”
Dia hanya tersenyum dan duduk di sebelahku.
“Boleh, aku berduet denganmu?”
“Dengan senang hati.”
<P Align="Justify">Kami menikmati alunan musik yang ditimbulkan dari gitar dan biola sampai suatu suara mengagetkan kami.</P>
<P Align="Justify">“Priss, ayo masuk. Udara malam tak baik untukmu,” kata perempuan yang ternyata adalah mamanya Priss.</P>
Priss menuruti kata-kata mamanya itu.
“Sampai besok di sekolah Genio Caprica,” katanya sambil tersenyum.
<P Align="Justify">Aku bingung, kenapa Priss tahu nama ku. Entahlah aku tak memusingkan itu, yang penting aku bisa berteman dengannya.</P>
<P Align="Justify">Pagi hari di sekolah berjalan di luar dari kebiasaan. Dimana biasanya aku bermain dengan Kick, Jane, dan Ellen, kini aku lebih banyak menghabiskan waktu menemani Priss membaca buku. Mungkin mereka bertiga mengira aku sedang menjalani saat-saat tidak mengenakkan dalam hidupku, karena berusaha untuk mendekati Priss untuk mejawab tantangan Jane. Tidak, bagiku. Justru, saat ini aku sedang menikmati saat-saat terindah dalam hidupku bisa menemani orang yang aku cinta di sisa waktunya. Jam pelajaran di sekolah telah usai. Petang pun tiba, seperti biasa aku pergi ke teluk kedamaian. Kali ini aku memberanikan diri untuk bertamu ke rumah Priss dan tidak hanya duduk di bangku kayu depan rumah Priss.</P>
“Prisscha ada? Tanyaku saat melihat mama Priss menghampiriku.
<P Align="Justify">“Priss pergi dari 3 jam yang lalu. Tetapi, sampai sekarang belum datang juga. Katanya sih beli buku. Tante tidak mengijinkannya, tapi dia bersikeras untuk pergi. Tolong susul ya, tante tau kamu bisa jaga dia,” kata mama Priss yang mempercayaiku.</P>
<P Align="Justify">Tanpa pikir panjang aku segera masuk ke (mobil yang bisa dibuka) dan melesat ke arah toko buku. Tak ada Priss disana. Kekhawatiranku semakin bertambah saat langit sudah benar-benar hitam. Aku meneliti semua penjuru dekat toko buku itu dengan berjalan kaki. Akhirnya aku melihat Priss, dia dalam keadaan bahaya, segerombolan pemuda yang tengah mabuk menghadangnya.</P>
<P Align="Justify">“Priss! Kau tahu bukan kau tidak diijinkan keluar tanpa pengawal!” seruku.</P>
<P Align="Justify">Priss menoleh dan mengampiriku, sementara gerombolan pemuda itu datang menghampiri kami.</P>
<P Align="Justify">“Kau bisa pergi sekarang? Sebelum dia mengamuk dan membunuhmu,” kataku pada gerombolan pemuda itu.</P>
<P Align="Justify">Segerombolan pemuda itu kabur. Mereka mengira Priss adalah seseorang yang sedang kehilangan kewarasannya.</P>
“Hai, Priss.”
<P Align="Justify">Seperti biasa, dia hanya memberikan senyumannya. Aku mengantarkan Priss pulang. Priss sampai di rumahnya dan aku pulang. Di mobil aku menemukan buku tebal Priss. Dia ternyata lupa membawa bukunya pulang dengannya. Aku berencana mengembalikan buku itu esok pagi. Tentu saja, karena aku ingin tahu buku apa yang sedang dibaca Priss minggu ini. Yang aku tahu bukuny berbeda setiap minggu. Apakah serial novel atau buku medis? Uhmm, ternyata itu buku medis. Lengkap dengan info tentang kanker hati. Semata-mata untuk mengetahui info tentang penyakitnya agar ia siap melewati sisa umurnya yang dapat dihitung jari. Hanya tersisa 6 bulan. Beberapa bulan terakhir ini aku rutin untuk datang ke bangku kayu itu, sekedar ingin menemani sisa hidupnya.</P>
<P Align="Justify">“Praaaaakkkkkkk,” suara buku tebal Priss saat aku membuka halaman demi halaman buku itu dengan cepat. Ada warna lain di buku itu yang menarik perhatianku semacam pembatas buku. Tanganku berhenti di halaman buku yang menarik perhatian itu.</P>
“Hah?” kataku terperangah.
<P Align="Justify">Warna yang menarik perhatianku adalah warna yang membentuk hati. Di tengahnya bertuliskan “Genio Caprica” lengkap berisi tanggal 4 Jan’10. Aku ingat, hari itu adalah tanggal saat aku pertama kali mencoba berkenalan dengannya. Hari yang mebuatku mempunyai predikat baru <em>The Bad Boy</em>. Yeah, besok bahan pertama yang harus aku tanyakan ke Priss adalah ini.</P>
<p align="center">***</p>
“Priss, bisa kau jelaskan ini,” kataku sambil menunjukkan pembatas buku itu.</P>
“Apa? Oh itu,” jawabnya singkat.
“Iya ini.”
“Itu hanya pembatas buku biasa.”
“Bukan, maksudku tulisan di pembatas buku ini.“
<P Align="Justify">“Kau tahu sekarang kenapa aku menangis saat kau mengintaiku dari celah buku di rak itu?”</P>
<P Align="Justify">Dug, aku seperti membentur sesuatu. Tepatnya malu. Aku ketahuan mengintainya. Oh, tidak! Reputasiku turun.</P>
<P Align="Justify">“Ngng, aku sampai saat ini tak tahu kenapa kau menangis,” jawabku dengan raut muka super malu.</P>
“Dasar bodoh! Itu karena kau.”
“Aku? Ngng.. aku tetap tak mengerti.”
<P Align="Justify">“Kau dan penyakitku,” jawabnya acuh tak acuh seperti tidak memperdulikan sama sekali, bagaimana pentingnya jawabannya untukku.</P>
<P Align="Justify">Bel sekolah lagi-lagi membuatku berpisah dengannya. Aku sekarang di kelas Biologi, sedangkan Priss di kelas ilmu sejarah. Usai sekolah aku tak bertemu dengan Priss. Saat petang tiba aku menemui Priss di kursi kayu itu.</P>
“Aku masih bingung dengan semua yang kutanyakan tadi.”
“Jelas aku menangis karena aku dilema.”
“Kenapa harus dilema?”
<P Align="Justify">“Lucky man, cool boy, the bad boy, apa perlu aku tambah lagi <em>The Stupid Genio</em>, my Caprica?”</P>
<P Align="Justify">“What? Dari mana kamu tahu semua predikatku? Dan Caprica? Kamu tahu Caprica, nama yang tak pernah aku harapkan.”</P>
<P Align="Justify">“Aku suka Caprica. Hanya Caprica dari sekian namamu yang selalu ku ingat dan selalu membuatku tersenyum.”</P>
<P Align="Justify">“Eh? Kau orang pertama yang menyukai namaku selain Mum dan Ayah. Thanks, dan kau tahu Prisscha Cransh, aku sekarang bangga dengan namaku berkat kamu.”</P>
“Aaa,” Priss mengangguk.
<P Align="Justify">“Yeah, kamu suka aku kan? Tapi, kamu bingung apa kamu harus nerima aku untuk mengenal kamu lebih dekat atau tidak? Bukan begitu Priss?”</P>
<P Align="Justify">“Iya. Sebenarnya aku sudah tahu kamu sebelum di taman itu. Kamu orang kedua yang meminjam buku tebal yang aku pinjam itu dari perpusatakaan kan setahun yang lalu. Aku tahu namamu dari daftar peminjam buku. Aku tertarik dengan nama itu, namamu sangat unik, aku sengaja mencari info tentang kamu dan pada akhirnya aku memutuskan untuk melupakanmu karena penyakitku ini dan kamu datang saat aku berusaha untuk melupakanmu.”</P>
<P Align="Justify">“Ngng, iya aku rasa aku pernah meminjam buku itu untuk.. ah apalah itu aku lups. Aku hanya meminjam, menulis namaku di daftar peminjam buku itu, dan memandanginya. Tak sedikit pun aku membacanya.”</P>
Priss tertawa. Kali ini, pertama kalinya aku melihat Priss tertawa.
“Sekarang apa kau suka aku?” tanyaku.
<P Align="Justify">“Ehmm, entahlah. Tapi karena kau aku merasa hidup kembali, aku kagum atas kesabaranmu selama ini menungguku setiap hari di sini. Aku sadar aku harus mau berteman denganmu, karena cuma kau temanku yang bisa menemaniku melewati sisa hidupku.”</P>
“Yeah.”
<P Align="Justify">“Lihat, rambutku banyak rontok, karena pengobatan yang ku jalani. Tetapi sekarang aku sudah stop pengobatan itu, percuma,” kata Priss sambil membuka kerudungnya.</P>
<P Align="Justify">Memang benar, rambutnya terlihat tipis. Ternyata, selama ini dia menggunakan kerudung untuk menutupi rambutnya yang telah rontok. Fakta baru tentang Priss.</P>
<P Align="Justify">“Kamu akan terlihat lebih cantik tanpa kerudung itu. Tak ada yang percuma. Ingat Priss, Tuhan selalu ada di sampingmu.”</P>
“Yeah, aku tahu.”
<P Align="Justify">“Apa kau tahu ini?” kataku sambil menunjukkan selembar undangan kepada Priss.</P>
“promnite? Tidak. Selama ini aku tak pernah tahu tentang itu.”
<P Align="Justify">“Kita diundang untuk mengisi acara <em>promnite</em>. Mengiringi instrument, aku memetik gitar dan kau menggesekkan biolamu. Amazing! Kita akan satu panggung.”</P>
“Kapan?”
“2 minggu lagi.”
<P Align="Justify"><em>Promnite</em> telah tiba. Malam yang dinantikan oleh seluruh siswa di SMAku. Malam inilah saatnya kita memamerkan pasangan kita dan malam ini pula aku akan menjawab tantangan Jane. Aku akan menyatakan cinta kepada Priss. Aku datang lebih awal ke <em>promnite</em> dan aku tak melihat Priss di segala penjuru pesta itu. Aku menunggu hampir 1 jam dan Priss belum juga tiba. Sampai saatnya kami akan performance, tetapi Priss belum juga datang. Tiba-tiba saat aku bersiap performance tanpa Priss, semua mata menuju pada 1 arah, arah pintu masuk promnite. Semua mata mengikuti gerakan kaki orang itu. Itu Priss. Dia benar-benar lain dari biasanya. Melepas kaca mata besarnya, tanpa kerudung dan rambut dibuat curly. Mempoles wajahnya yang biasanya pucat menjadi menawan membuat setiap orang ingin lebih lama memperhatikannya. Waw.. sempurna!</P>
<P Align="Justify">Harapanku selama ini untuk satu panggung dengan Priss terwujud. Semua itu kami lewati hanya dalam hitungan menit, 30 menit. Saatnya aku menjawab tantangan Jane.</P>
“Priss, apa aku bisa jadi pacarmu?”
“Ngng..”
<P Align="Justify">Priss tak menjawab. Sepertinya, dia mencoba untuk berpikir dan 5 menit kemudian dia jatuh begitu saja dari tempat duduknya bermain biola. Matanya sudah tertutup. Jantungnya berdetak sangat lamban. Hampir tak bisa aku rasakan saat aku mencoba mencari denyut jantungnya melalui pergelangan tangan dan di semua sisi yang mungkin dapat aku rasakan. “Apa ini hari terakhirku dengan Priss? Priss akan meninggalkanku. Aku benar-benar dicap sebagai <em>The Bad Boy</em>, double <em>The Bad Boy</em>. Tetapi, aku tak masalah dengan itu, yang aku masalahkan aku tak bisa lagi melihat orang yang aku cinta. Ini memang tantangan dalam permainan, tetapi aku benar-benar cinta dengan Priss,” bathinku.</P>
<P Align="Justify">Ayahku yang sekaligus dokter Priss keluar dari ruang pemeriksaan. Aku rasa ini saatnya aku mendengar kalimat itu, Priss telah tiada. Tidak! Aku tak menginginkan itu. Ayah dengan raut muka yang tidak menyenangkan menutup pintu ruangan itu. Aku dan mama Priss tak kuasa untuk menahan kaki bergerak menuju tempat ayah berdiri.</P>
“Priss kenapa?”
“Benar-benar mukjizat,” kata ayah yang merubah raut mukanya menjadi raut muka yang takjub.</P>
“Apa maksud ayah?”
<P Align="Justify">“Sel kankernya tak tersisa sedikit pun, dia sembuh.”
“Hah? Terus kenapa dia harus pingsan?
“Dia hanya kecapean.”
<P Align="Justify">“Iya betul, selama 2 minggu ini dia berlatih biola sampai tengah malam untuk memaksimalkan penampilannya di <em>promnite</em> malam ini. Benar-benar mukjizat,” tambah mama Priss.</P>
Aku bergegas menemui Priss di ruang rawat.
“Genio, aku sembuh.”
<P Align="Justify">“Iya.. aku senang mendengarnya. Tuhan benar-benar menginginkan kita untuk selalu bersama selamanya.”</P>
“Hmm, bersama selamanya?”
“Kau mau kan?”
“Tentu.”
“My name is My Lucky,” bathinku.
<P Align="Justify">Berawal dari keunikan namaku, aku mencintai seseorang. Dan namaku selalu membuat orang itu tersenyum penuh semangat. Aku sadar ini mukjizat besar untuk kehidupan Priss yang diberikan oleh Tuhan. Dan menurut mama Priss, Priss kembali bersemangat untuk menjalani rangkaian pengobatan untuknya, melanjutkan kemotrapi dan yakin bebas dari penyakitnya itu saat mengingatku akan selalu bersamanya, tentu saja karena uniknya namaku Priss lebih banyak tertawa dari sebelumnya dan sedikit demi sedikit lupa dengan penyakitnya.</P>
<p align="center">-END-</p>
<P Align="Justify">Annyeonghaseyo readers .. ini post perdanaku di blog :D jadi butuh bngd comment kalian . Tinggalkan jejak yaa^^</P>
“Truth, dare, or promise my luck?” tanya Ellen menyindirku.
“Your luck is lose for now!” tambah Jane yang tak bisa lagi menahan ketawanya saat giliran ku dalam permainan ini. Memang Jane adalah orang yang sangat berharap aku mendapatkan kesialan di permainan ini, karena waktu dulu aku pernah menantangnya untuk mencium seorang siswi di sekolahku saat. Itu membuatnya jomblo 12 bulan, karena semua cowok menganggapnya <em>lesbi</em>. Walaupun sekarang ia sudah punya pacar, yang pastinya cowok. Tetapi, 1 tahun lebih muda darinya. Tepat! Adik kelas, anak SMA baru tahun ajaran ini yang tak tahu-menahu tentang riwayat Jane karena tantanganku itu.</P>
“Ok. Dare!” pilihku.
“Yeah, your lucky is for me now!”
<P Align="Justify">“Gila lu, bunuh diri ini namanya. Jelas-jelas Jane mau balas dendam, eh lu malah ngikutin kemauan dia. Jane ngarepin lu buad milih dare tau!” kata Kick yang tak mau aku, sahabatnya dipermalukan oleh 2 teman perempuannya.</P>
<P Align="Justify">“My name is my lucky. Luck is Lucky, for now and forever,” kataku berusaha untuk menghibur diri, karena aku tahu sekaranglah waktunya Jane untuk mempermalukanku. Memang, jika di ratiokan antara keberuntungan dan kesialan dalam hidupku sampai saat ini adalah 4:1. Maka dari itu, teman-temanku memanggilku dengan sebutan Lucky man, seorang yang penuh dengan keberuntungan. Tetap saja hatiku galau, karena sampai saat ini angka 1 itu belum juga aku dapatkan dan angka 4 itu baru aku dapatkan 3. Yeah, akhirnya 1:1. Antara malu dan lega. Yeah, aku harap, fiuhh!</P>
<P Align="Justify">“Aku menantangmu untuk menggandeng cewek itu ke acara <em>promnite</em> tahun ini sebagai pacarmu. Ready?,” kata Jane dengan senyum sinisnya seraya menunjuk ke salah satu sudut taman di sekolahku.</P>
<P Align="Justify">Kabar baik, orang yang ditunjuk Jane adalah cewek. Yeah! Tapi tidak, oh no! Itu Priss, Prisscha Cransh. Cewek terkuper yang pernah aku kenal, dari pagi hari hingga sore hari di sekolah hanya bersama buku. Sering menggunakan kerudung untuk menutupi setengah kepalanya. Entah apa maksudnya. Yah, akhir-akhir ini lumayan ada kemajuan dari gadis itu. Sepanjang hari di sekolah, Priss hanya berkutat dengan teman setianya, buku tebal berdebu dengan istilah-istilah kedokteran yang menghiasinya. Hanya dia, yah hanya Priss, Prisscha Cransh yang mengambil buku itu dari rak buku paling atas di perpustakaan untuk dipelajarinya, yang kami tahu buku itu tak pernah ada yang mengambil sejak 1 tahun yang lalu. Tetapi, sekarang Priss sudah tak sesering dulu berada di perpustakaan, ia lebih banyak menghabiskan jam istirahat dengan berada di salah satu sudut taman sekolah. Tetap, dengan teman setianya buku tebal berdebu itu. Mungkin, karena alergi debu yang ditimbulkan dari buku-buku di rak perpustakaan itu, ia sekarang lebih memilih membaca di taman sekolah.</P>
“Hallo, Luck!” kata Kick mengagetkanku.
<P Align="Justify">“Ah, that easy guys. Aku mulai sekarang!” kataku yang mulai sadar dari lamunanku tentang biografi gadis itu.</P>
“Ehmm, boleh aku duduk di sini,” sapaku.
<P Align="Justify">Priss hanya menoleh dan setelah itu kembali memandangi buku itu. Memandangi? Tidak, tapatnya membaca. Memandangi buku seperti itu hanya untukku. Mungkin Priss berpikir: “Emang ini tempat duduk punya gue? Kalo mau duduk, duduk aja! Toh itu pan***-pan*** lu”. Mungkin?? Arghh, triple arghh. Aku tak pernah dicuekin cewek seperti ini, jujur selama bersekolah di sini. Aku di cap sebagai cowok ter”cool” (red: sikap dingin). Setidaknya, karena tantangan ini aku mau mendekati cewek duluan. Prisskankuper, ia mungkin tidak tahu dengan predikat yang kusandang itu. Padahal kalau dia tahu, dia pasti akan bangga, menjadi cewek pertama yang menjadi incaran cowok ter”cool” di sekolah ini^^. Dengan jengkel dan triple arghh aku duduk di kursi taman tepat sebelah posisinya saat ini.</P>
“Kamu Priss kan?” kataku memulai percakapan.
“Iya,” jawabnya singkat tanpa bertanya kembali siapa namaku.
“Boleh minta email mu?” tanyaku yang berharap dia akan menjawab iya.
“Untuk apa?”
“Aku pengen kenal lebih dekat sama kamu,” jawabku, langsung menuju sasaran.
<P Align="Justify">Sejenak ia tak menjawab kata-kataku itu. Dag dig dug, terdengar jantungku berdetak lebih keras. Jangan sampai, predikatku bertambah di sekolah ini, predikat sebagai <em>The Bad Boy</em> dan menjadi bulan-bulanan bahan ejekan dari Jane karena tahap perkenalan awalku gagal total.</P>
<P Align="Justify">Benar, kini aku menyandang nama ketiga “<em>The Bad Boy</em>”. Sial! Priss pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Wajahnya menunjukkan raut kekesalan, karena aku menggangu waktu membacanya dan raut wajah lain. Bingung, iya bingung. Aku melihat ia seperti dilema. Tetapi, kenapa dia harus dilema gara-gara iya atau tidak untuk memberikan alamat emailnya untukku? Entahlah, mungkin aku yang salah mengartikan raut wajah Priss.</P>
<P Align="Justify">“My lucky come on,” kataku yang berharap malaikat keberuntunganku datang untuk membantu.</P>
<P Align="Justify">“Hhahahahahahaha,” tawa Jane dan Ellen di kejauhan sana. Kick hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaanku saat ini.</P>
<P Align="Justify">“Kenapa kalian? Priss hanya mengambil kertas untuk menuliskan emailnya untukku,” kataku menghampiri mereka.</P>
“My Luck, semangat ya,” kata Ellen di tengah-tengah ketawanya.
“Ckckck, <em>The Bad Boy</em>,” tambah Jane.
“Damn,” kataku seraya pergi menyusul jejak Priss.
<P Align="Justify">Aku mencari-cari Priss. Tetap saja aku tak menemukannya. Hingga akhirnya, pandanganku sampai di pojok perpustakaan. Ada Priss di sana. Seharusnya aku menghampirinya. Tetapi, malaikat keberuntunganku sedang berpihak denganku, aku dilarangnya kesana, kakiku sulit untuk digerakkan. Dia sedang menangis. Aku hanya mengintai setiap gerakan air mata yang jatuh dari mata indah seorang Priss, cewek terkuper di sekolahku dari salah satu celah rak buku yang saat itu sedang jarang bukunya.</P>
<P Align="Justify">Aku kembali mengingat-ngingat perkataanku tadi saat mencoba berkenalan dengan Priss. Aku eja semua kata dalam kalimatku tadi. Tak ada yang salah. Tetapi, kenapa Priss harus bersedih? Teet, bel sekolah berbunyi yang menandakan pelajaran terakhir akan segera dimulai. Semua siswa mulai masuk ke kelas masing-masing, termasuk aku dan Priss. Kami keluar dari perpustakaan, tentu saja aku berpura-pura tak memperhatikan dia. Hari Sabtu jam pelajaran terakhir saatnya aku dan Priss satu kelas karena jam itu adalah jam pelajaran di kelas kesenian. Aku bermain gitar dan yang ku tahu Priss mengambil pelajaran alat musik biola.</P>
<P Align="Justify">Karena tantangan dari Jane, beberapa bulan terakhir ini aku sering memperhatikan tingkah laku Priss. Aku mulai merubah pandanganku tentangnya saat aku tahu fakta tentang Priss dari mamanya yang kebetulan sedang berkonsultasi tentang keadaan Priss dengan ayahku, yang ternyata adalah dokternya Priss selama ini. Di mataku sekarang ia tak lagi gadis kuper, tetapi ia adalah gadis yang berhati mulia, karena ia tak mau orang lain tahu lebih tentangnya, sebab ia seorang penderita kanker hati dan divonis oleh dokter ia hanya dapat bertahan hingga akhir tahun ini. Ia tak mau membuat orang yang dekat dengannya merasa sedih saat ia benar-benar terbunuh oleh penyakit itu. Seminggu belakangan ini aku membuntutinya hingga sampai ke rumahnya. Ia tinggal di salah satu rumah yang berhadapan langsung dengan teluk Peacelife. Teluk yang lebih dikenal orang sebagai teluk kedamaian. Teluk ini akan memberi kita kedamaian hidup saat kita berada dalam suasana danau itu. Gulungan ombak, pasir putihnya, warna lautnya yang menawan, dan semuanya yang berkaitan dengan danau itu sempurna bagiku. Benar, aku sudah membuktikan kata orang. Di akhir pekan aku selalu pergi ke sana untuk menghilangkan penat. Penat, karena selama berhari-hari di sekolah aku harus bertemu dengan orang yang kucinta sekaligus orang yang membuatku galau, karena aku tahu dia tak akan menerima cintaku ini. Bahkan, aku tahu hanya secuil harapan untukku dapat berkenalan dengannya lagi dan saat aku bertemu dengan mamanya, ia hanya berpesan kepadaku “Tolong buat putriku tersenyum”. Yah, gadis yang kucinta itu adalah Priss. Cewek terkuper di sekolahku dan sekaligus cinta pertamaku di sekolah ini. Aku kagum dengannya, aku ingin mengabulkan permintaan mamanya. Dare, ini tantangan untukku. Untuk cowok yang menyandang 3 predikat di sekolah. Yeah, place in my heart just for you, Priss. Kata-kata yang sering kuteriakkan di danau kedamaian dan berharap Priss akan mendengarnya.</P>
<P Align="Justify">Aku sering duduk di bangku kayu depan rumah Priss yang merupakan fasilitas umum dari teluk itu hanya untuk mendengarkan lantunan biola yang dimainkan oleh Priss. Amazing! Permainan biolanya cukup membuatku terhanyut oleh suasana. Aku berharap nantinya bisa bermain bersamanya di satu panggung yang sama. Diam-diam aku memainkan gitarku mengiringi lantunan biolanya. Dan suatu ketika aku mendengar suara biolanya berhenti bergesekan dan seseorang melongo dari kaca jendelanya. Surga di depan mataku, dia tersenyum. Manis dan cantik, itu yang bisa kugambarkan dari surga itu.</P>
“Hai, Priss,” aku melambai-lambaikan tanganku.
<P Align="Justify">Tanggapannya sangat dingin sedingin udara petang di teluk itu. Ia menutup jendelanya begitu saja. Aku memanggil berulang kali, tetap tak ada gadis yang melongo dari jendela. Aku berteriak sekali lagi.</P>
“Priss, please!”
<P Align="Justify">Seperti dugaanku, tak ada tanggapan darinya. Tetapi, tiba-tiba pintu gerbangnya terbuka.</P>
“Priss.”
Dia hanya tersenyum dan duduk di sebelahku.
“Boleh, aku berduet denganmu?”
“Dengan senang hati.”
<P Align="Justify">Kami menikmati alunan musik yang ditimbulkan dari gitar dan biola sampai suatu suara mengagetkan kami.</P>
<P Align="Justify">“Priss, ayo masuk. Udara malam tak baik untukmu,” kata perempuan yang ternyata adalah mamanya Priss.</P>
Priss menuruti kata-kata mamanya itu.
“Sampai besok di sekolah Genio Caprica,” katanya sambil tersenyum.
<P Align="Justify">Aku bingung, kenapa Priss tahu nama ku. Entahlah aku tak memusingkan itu, yang penting aku bisa berteman dengannya.</P>
<P Align="Justify">Pagi hari di sekolah berjalan di luar dari kebiasaan. Dimana biasanya aku bermain dengan Kick, Jane, dan Ellen, kini aku lebih banyak menghabiskan waktu menemani Priss membaca buku. Mungkin mereka bertiga mengira aku sedang menjalani saat-saat tidak mengenakkan dalam hidupku, karena berusaha untuk mendekati Priss untuk mejawab tantangan Jane. Tidak, bagiku. Justru, saat ini aku sedang menikmati saat-saat terindah dalam hidupku bisa menemani orang yang aku cinta di sisa waktunya. Jam pelajaran di sekolah telah usai. Petang pun tiba, seperti biasa aku pergi ke teluk kedamaian. Kali ini aku memberanikan diri untuk bertamu ke rumah Priss dan tidak hanya duduk di bangku kayu depan rumah Priss.</P>
“Prisscha ada? Tanyaku saat melihat mama Priss menghampiriku.
<P Align="Justify">“Priss pergi dari 3 jam yang lalu. Tetapi, sampai sekarang belum datang juga. Katanya sih beli buku. Tante tidak mengijinkannya, tapi dia bersikeras untuk pergi. Tolong susul ya, tante tau kamu bisa jaga dia,” kata mama Priss yang mempercayaiku.</P>
<P Align="Justify">Tanpa pikir panjang aku segera masuk ke (mobil yang bisa dibuka) dan melesat ke arah toko buku. Tak ada Priss disana. Kekhawatiranku semakin bertambah saat langit sudah benar-benar hitam. Aku meneliti semua penjuru dekat toko buku itu dengan berjalan kaki. Akhirnya aku melihat Priss, dia dalam keadaan bahaya, segerombolan pemuda yang tengah mabuk menghadangnya.</P>
<P Align="Justify">“Priss! Kau tahu bukan kau tidak diijinkan keluar tanpa pengawal!” seruku.</P>
<P Align="Justify">Priss menoleh dan mengampiriku, sementara gerombolan pemuda itu datang menghampiri kami.</P>
<P Align="Justify">“Kau bisa pergi sekarang? Sebelum dia mengamuk dan membunuhmu,” kataku pada gerombolan pemuda itu.</P>
<P Align="Justify">Segerombolan pemuda itu kabur. Mereka mengira Priss adalah seseorang yang sedang kehilangan kewarasannya.</P>
“Hai, Priss.”
<P Align="Justify">Seperti biasa, dia hanya memberikan senyumannya. Aku mengantarkan Priss pulang. Priss sampai di rumahnya dan aku pulang. Di mobil aku menemukan buku tebal Priss. Dia ternyata lupa membawa bukunya pulang dengannya. Aku berencana mengembalikan buku itu esok pagi. Tentu saja, karena aku ingin tahu buku apa yang sedang dibaca Priss minggu ini. Yang aku tahu bukuny berbeda setiap minggu. Apakah serial novel atau buku medis? Uhmm, ternyata itu buku medis. Lengkap dengan info tentang kanker hati. Semata-mata untuk mengetahui info tentang penyakitnya agar ia siap melewati sisa umurnya yang dapat dihitung jari. Hanya tersisa 6 bulan. Beberapa bulan terakhir ini aku rutin untuk datang ke bangku kayu itu, sekedar ingin menemani sisa hidupnya.</P>
<P Align="Justify">“Praaaaakkkkkkk,” suara buku tebal Priss saat aku membuka halaman demi halaman buku itu dengan cepat. Ada warna lain di buku itu yang menarik perhatianku semacam pembatas buku. Tanganku berhenti di halaman buku yang menarik perhatian itu.</P>
“Hah?” kataku terperangah.
<P Align="Justify">Warna yang menarik perhatianku adalah warna yang membentuk hati. Di tengahnya bertuliskan “Genio Caprica” lengkap berisi tanggal 4 Jan’10. Aku ingat, hari itu adalah tanggal saat aku pertama kali mencoba berkenalan dengannya. Hari yang mebuatku mempunyai predikat baru <em>The Bad Boy</em>. Yeah, besok bahan pertama yang harus aku tanyakan ke Priss adalah ini.</P>
<p align="center">***</p>
“Priss, bisa kau jelaskan ini,” kataku sambil menunjukkan pembatas buku itu.</P>
“Apa? Oh itu,” jawabnya singkat.
“Iya ini.”
“Itu hanya pembatas buku biasa.”
“Bukan, maksudku tulisan di pembatas buku ini.“
<P Align="Justify">“Kau tahu sekarang kenapa aku menangis saat kau mengintaiku dari celah buku di rak itu?”</P>
<P Align="Justify">Dug, aku seperti membentur sesuatu. Tepatnya malu. Aku ketahuan mengintainya. Oh, tidak! Reputasiku turun.</P>
<P Align="Justify">“Ngng, aku sampai saat ini tak tahu kenapa kau menangis,” jawabku dengan raut muka super malu.</P>
“Dasar bodoh! Itu karena kau.”
“Aku? Ngng.. aku tetap tak mengerti.”
<P Align="Justify">“Kau dan penyakitku,” jawabnya acuh tak acuh seperti tidak memperdulikan sama sekali, bagaimana pentingnya jawabannya untukku.</P>
<P Align="Justify">Bel sekolah lagi-lagi membuatku berpisah dengannya. Aku sekarang di kelas Biologi, sedangkan Priss di kelas ilmu sejarah. Usai sekolah aku tak bertemu dengan Priss. Saat petang tiba aku menemui Priss di kursi kayu itu.</P>
“Aku masih bingung dengan semua yang kutanyakan tadi.”
“Jelas aku menangis karena aku dilema.”
“Kenapa harus dilema?”
<P Align="Justify">“Lucky man, cool boy, the bad boy, apa perlu aku tambah lagi <em>The Stupid Genio</em>, my Caprica?”</P>
<P Align="Justify">“What? Dari mana kamu tahu semua predikatku? Dan Caprica? Kamu tahu Caprica, nama yang tak pernah aku harapkan.”</P>
<P Align="Justify">“Aku suka Caprica. Hanya Caprica dari sekian namamu yang selalu ku ingat dan selalu membuatku tersenyum.”</P>
<P Align="Justify">“Eh? Kau orang pertama yang menyukai namaku selain Mum dan Ayah. Thanks, dan kau tahu Prisscha Cransh, aku sekarang bangga dengan namaku berkat kamu.”</P>
“Aaa,” Priss mengangguk.
<P Align="Justify">“Yeah, kamu suka aku kan? Tapi, kamu bingung apa kamu harus nerima aku untuk mengenal kamu lebih dekat atau tidak? Bukan begitu Priss?”</P>
<P Align="Justify">“Iya. Sebenarnya aku sudah tahu kamu sebelum di taman itu. Kamu orang kedua yang meminjam buku tebal yang aku pinjam itu dari perpusatakaan kan setahun yang lalu. Aku tahu namamu dari daftar peminjam buku. Aku tertarik dengan nama itu, namamu sangat unik, aku sengaja mencari info tentang kamu dan pada akhirnya aku memutuskan untuk melupakanmu karena penyakitku ini dan kamu datang saat aku berusaha untuk melupakanmu.”</P>
<P Align="Justify">“Ngng, iya aku rasa aku pernah meminjam buku itu untuk.. ah apalah itu aku lups. Aku hanya meminjam, menulis namaku di daftar peminjam buku itu, dan memandanginya. Tak sedikit pun aku membacanya.”</P>
Priss tertawa. Kali ini, pertama kalinya aku melihat Priss tertawa.
“Sekarang apa kau suka aku?” tanyaku.
<P Align="Justify">“Ehmm, entahlah. Tapi karena kau aku merasa hidup kembali, aku kagum atas kesabaranmu selama ini menungguku setiap hari di sini. Aku sadar aku harus mau berteman denganmu, karena cuma kau temanku yang bisa menemaniku melewati sisa hidupku.”</P>
“Yeah.”
<P Align="Justify">“Lihat, rambutku banyak rontok, karena pengobatan yang ku jalani. Tetapi sekarang aku sudah stop pengobatan itu, percuma,” kata Priss sambil membuka kerudungnya.</P>
<P Align="Justify">Memang benar, rambutnya terlihat tipis. Ternyata, selama ini dia menggunakan kerudung untuk menutupi rambutnya yang telah rontok. Fakta baru tentang Priss.</P>
<P Align="Justify">“Kamu akan terlihat lebih cantik tanpa kerudung itu. Tak ada yang percuma. Ingat Priss, Tuhan selalu ada di sampingmu.”</P>
“Yeah, aku tahu.”
<P Align="Justify">“Apa kau tahu ini?” kataku sambil menunjukkan selembar undangan kepada Priss.</P>
“promnite? Tidak. Selama ini aku tak pernah tahu tentang itu.”
<P Align="Justify">“Kita diundang untuk mengisi acara <em>promnite</em>. Mengiringi instrument, aku memetik gitar dan kau menggesekkan biolamu. Amazing! Kita akan satu panggung.”</P>
“Kapan?”
“2 minggu lagi.”
<P Align="Justify"><em>Promnite</em> telah tiba. Malam yang dinantikan oleh seluruh siswa di SMAku. Malam inilah saatnya kita memamerkan pasangan kita dan malam ini pula aku akan menjawab tantangan Jane. Aku akan menyatakan cinta kepada Priss. Aku datang lebih awal ke <em>promnite</em> dan aku tak melihat Priss di segala penjuru pesta itu. Aku menunggu hampir 1 jam dan Priss belum juga tiba. Sampai saatnya kami akan performance, tetapi Priss belum juga datang. Tiba-tiba saat aku bersiap performance tanpa Priss, semua mata menuju pada 1 arah, arah pintu masuk promnite. Semua mata mengikuti gerakan kaki orang itu. Itu Priss. Dia benar-benar lain dari biasanya. Melepas kaca mata besarnya, tanpa kerudung dan rambut dibuat curly. Mempoles wajahnya yang biasanya pucat menjadi menawan membuat setiap orang ingin lebih lama memperhatikannya. Waw.. sempurna!</P>
<P Align="Justify">Harapanku selama ini untuk satu panggung dengan Priss terwujud. Semua itu kami lewati hanya dalam hitungan menit, 30 menit. Saatnya aku menjawab tantangan Jane.</P>
“Priss, apa aku bisa jadi pacarmu?”
“Ngng..”
<P Align="Justify">Priss tak menjawab. Sepertinya, dia mencoba untuk berpikir dan 5 menit kemudian dia jatuh begitu saja dari tempat duduknya bermain biola. Matanya sudah tertutup. Jantungnya berdetak sangat lamban. Hampir tak bisa aku rasakan saat aku mencoba mencari denyut jantungnya melalui pergelangan tangan dan di semua sisi yang mungkin dapat aku rasakan. “Apa ini hari terakhirku dengan Priss? Priss akan meninggalkanku. Aku benar-benar dicap sebagai <em>The Bad Boy</em>, double <em>The Bad Boy</em>. Tetapi, aku tak masalah dengan itu, yang aku masalahkan aku tak bisa lagi melihat orang yang aku cinta. Ini memang tantangan dalam permainan, tetapi aku benar-benar cinta dengan Priss,” bathinku.</P>
<P Align="Justify">Ayahku yang sekaligus dokter Priss keluar dari ruang pemeriksaan. Aku rasa ini saatnya aku mendengar kalimat itu, Priss telah tiada. Tidak! Aku tak menginginkan itu. Ayah dengan raut muka yang tidak menyenangkan menutup pintu ruangan itu. Aku dan mama Priss tak kuasa untuk menahan kaki bergerak menuju tempat ayah berdiri.</P>
“Priss kenapa?”
“Benar-benar mukjizat,” kata ayah yang merubah raut mukanya menjadi raut muka yang takjub.</P>
“Apa maksud ayah?”
<P Align="Justify">“Sel kankernya tak tersisa sedikit pun, dia sembuh.”
“Hah? Terus kenapa dia harus pingsan?
“Dia hanya kecapean.”
<P Align="Justify">“Iya betul, selama 2 minggu ini dia berlatih biola sampai tengah malam untuk memaksimalkan penampilannya di <em>promnite</em> malam ini. Benar-benar mukjizat,” tambah mama Priss.</P>
Aku bergegas menemui Priss di ruang rawat.
“Genio, aku sembuh.”
<P Align="Justify">“Iya.. aku senang mendengarnya. Tuhan benar-benar menginginkan kita untuk selalu bersama selamanya.”</P>
“Hmm, bersama selamanya?”
“Kau mau kan?”
“Tentu.”
“My name is My Lucky,” bathinku.
<P Align="Justify">Berawal dari keunikan namaku, aku mencintai seseorang. Dan namaku selalu membuat orang itu tersenyum penuh semangat. Aku sadar ini mukjizat besar untuk kehidupan Priss yang diberikan oleh Tuhan. Dan menurut mama Priss, Priss kembali bersemangat untuk menjalani rangkaian pengobatan untuknya, melanjutkan kemotrapi dan yakin bebas dari penyakitnya itu saat mengingatku akan selalu bersamanya, tentu saja karena uniknya namaku Priss lebih banyak tertawa dari sebelumnya dan sedikit demi sedikit lupa dengan penyakitnya.</P>
<p align="center">-END-</p>
<P Align="Justify">Annyeonghaseyo readers .. ini post perdanaku di blog :D jadi butuh bngd comment kalian . Tinggalkan jejak yaa^^</P>